Pengertian Ibadah Menurut Bahasa dan Istilah. Membahas tentang ibadah berarti membahas tentang hak Allah yang paling besar yang wajib di tunaikan oleh seluruh makhluk, yaitu beribadah hanya kepada Allah dan tidak menyukutukan-Nya. Dan ini adalah yang di maksud dengan tauhid uluhiyyah atau tauhid ibadah.
Baca juga: Pengertian Tauhid dan Pembagiannya
Dan Allah subhanahu wa ta’ala telah mengabarkan bahwa tujuan dari penciptaan jin dan makhluk itu adalah agar kita beribadah kepada Allah saja tidak kepada yang lain. Sebelum seseorang melakukan atau mengerjakan suatu ibadah, maka hendaknya bagi dia untuk mengetahui, ‘Apa yang di maksud dengan ibadah?’ berikut ini adalah pengertian ibadah[1].
PENGERTIAN IBADAH
Ibadah (العبادة) secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut istilah syar’I (terminologi), ibadah mempunyai banyak pengerian atau definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi diantara lain adalah:
- Ibadah adalah taat kepada Allah ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
- Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah azza wa jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
- Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah azza wa jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang dzahir (nampak) maupun yang bathin (sembunyi). Yang ketiga ini adalah pengertian ibadah atau definisi yang paling lengkap.
Dan dari pengertian ibadah yang paling lengkap dan yang sering dipakai oleh para ulama adalah yang ketiga. Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ (56) مَآ أُرِيدُ مِنْهُم مِّن رِّزْقٍۢ وَمَآ أُرِيدُ أَن يُطْعِمُونِ (57) إِنَّ ٱللَّهَ هُوَ ٱلرَّزَّاقُ ذُو ٱلْقُوَّةِ ٱلْمَتِينُ (58)
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat: 56-58).
Allah azza wa jalla memberitahukan bahwa hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah hanya kepada Allah azza wa jalla. Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi merekalah yang membutuhkan-Nya, karena ketergantungan mereka itu kepada Allah, maka barang siapa yang menolak beribadah kepada selain Allah, ia adalah sombong. Siapa yang beribadah kepada-Nya tetapi selain apa yang disyari’atkan-Nya, maka ia adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah). Dan barangsiapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan apa yang disyariatkan-Nya, makai a adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah). kemudian setelah mengetahui apa itu pengertian ibadah atau definisi ibadah, maka sekarang pembaca akan mengetahui pilar-pilar ubudiyyah yang benar.
PILAR-PILAR UBUDIYYAH YANG BENAR
Sesungguhnya ibadah itu berlandaskan pada tiga pilar pokok, yaitu: hub (cinta), khauf (takut), raja’ (harapan).
Rasa cinta harus disertai dengan rasa rendah diri, sedangkan khauf harus dibarengi dengan raja’. Dalam setiap ibadah harus terkumpul unsur-unsur ini. Allah berfirman tentang sifat para hamba-Nya yang mukmin,
يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُۥٓ
“Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 54).
وَٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَشَدُّ حُبًّۭا لِّلَّهِ ۗ
“Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165).
Allah ta’ala berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا۟ يُسَـٰرِعُونَ فِى ٱلْخَيْرَٰتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًۭا وَرَهَبًۭا ۖ وَكَانُوا۟ لَنَا خَـٰشِعِينَ
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Surat Al-Anbiya: 90).
Sebagian Salaf berkata,[2] “Siapa yang beribadah kepada Allah dengan rasa cinta saja, maka ia adalah zindiq,[3] siapa yang beribadah kepada-Nya dengan raja’ saja, maka ia adalah murji’.[4] Dan siapa yang beribadah kepada-Nya hanya dengan khauf, maka ia adalah haruriy.[5] Barangsiapa yang beribadah kepada-Nya dengan hub, khauf, dan raja’, maka ia adalah mukmin muwaahhid.”
SYARAT DITERIMANYA IBADAH
Baca juga: Syarat Diterimanya Ibadah Dalam Islam
Ibadah adalah perkara tauqifiyyah yaitu tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Quran dan As-Sunnah. Apa yang tidak disyariatkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak) sebagaimana sabda Nabi ﷺ,
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak.”[6].
Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat:
Pertama: Ikhlas karena Allah semata, bebas dari syirik besar dan kecil.
Kedua: Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah ﷺ.
Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat yang kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menurut wajibnya taat kepada Rasul ﷺ, mengikuti syari’atnya dan meninggalkan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
بَلَىٰ مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُۥ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌۭ فَلَهُۥٓ أَجْرُهُۥ عِندَ رَبِّهِۦ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. Al-Baqarah: 112).
أَسْلَمَ وَجْهَهُ (aslama wajhahu, menyerahkan diri) artinya memurnikan ibadah kepada Allah. وهو محسن (wahuwa muhsin, berbuat kebajikan) artinya mengikuti Rasul-Nya ﷺ.
Syaikhul Islam rahimahullah mengatakan, “Inti agama ada dua pilar yaitu kita tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah, dan kita tidak beribadah kecuali dengan apa yang Dia syari’atkan, tidak dengan bid’ah. Sebagaimana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَمَن كَانَ يَرْجُوا۟ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًۭا صَـٰلِحًۭا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya.” (Surat Al-Kahfi: 110). Hal yang demikian itu merupakan manifestasi (perwujudan) dari dua kalimat syahadat Laa ilaaha illallaah, Muhammad Rasulullah.
Pada yang pertama, kita tidak beribadah kecuali kepada-Nya. Pada yang kedua, bahwa Muhammad ﷺ adalah utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Beliau ﷺ telah menjelaskan bagaimana cara kita beribadah kepada Allah, dan beliau ﷺ melarang kita dari hal-hal baru atau bid’ah. Beliau ﷺ mengatakan bahwa semua bid’ah itu sesat.”[7].
Bila ada orang yang bertanya: “Apa hikmah di balik kedua syarat bagi sahnya ibadah tersebut?”
Jawabnya adalah sebagai berikut:
Pertama: Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah kepada-Nya semata. Maka, beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala di samping beribadah kepada-Nya adalah kesyirikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَٱعْبُدِ ٱللَّهَ مُخْلِصًۭا لَّهُ ٱلدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2).
Kedua: Sesungguhnya Allah mempunyai hak dan wewenang Tasyri’(memerintah dan melarang). Hak Tasyri’ adalah hak Allah bukan semata. Maka, barangsiapa beribadah kepada-Nya bukan dengan cara yang diperintahkan-Nya, makai a telah melibatkan dirinya di dalam Tasyri’.
Ketiga: Sesungguhnya Allah telah menyempurnkan agama bagi kita. Maka, orang yang membuat tata cara ibadah sendiri dari dirinya, berarti ia telah menambah ajaran agama dan menuduh bahwa agama ini tidak sempurna (mempunyai kekurangan).
Keempat: Dan sekiranya boleh bagi setiap orang untuk beribadah dengan tata cara dan kehendaknya sendiri, maka setiap orang menjadi memiliki caranya tersendiri dalam ibadah. Jika demikian halnya, maka yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah kekacauan yang tiada taranya karena perpecahan dan pertikaian akan meliputi kehidupan mereka disebakan perbedaan kehendak dan perasaan, padahal agama Islam mengajarkan kebersamaan dan kesatuan menurut syari’at yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya. Dan yang terakhir setelah pembaca mengetahui pengertian ibadah kemudian pilar-pilarnya kemudian syaratnya, maka sekarang kita akan bahas tentang keutamaan ibadah.
KEUTAMAAN IBADAH
Baca juga: Keutamaan Ibadah
Ibadah di dalam syari’at Islam merupakan tujuan diciptakan manusian dan ibadah amal yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta’ala. Karenanyalah Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul dan menurunkan Kitab-Kitab suci-Nya. Orang yang melaksanakannya di puji dan yang enggan melaksanakannya dicela. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَقَالَ رَبُّكُمُ ٱدْعُونِىٓ أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِى سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60).
Ibadah di dalam Islam tidak disyari’atkan untuk mempersempit atau mempersulit manusia, dan tidak pula untuk menjatuhkan mereka di dalam kesulitan. Akan tetapi ibadah itu disyari’atkan untuk berbagi hikmah yang agung, kemaslahatan besar yang tidak dapat dihitung jumlahnya. Pelaksanaan ibadah dalam Islam semua adalah mudah.
Diantara keutamaan ibadah bahwasanya ibadah mensucikan jiwa dan membersihkannya, dan mengangkat ke derajat tertinggi menuju kesempurnaan manusiawi. Kesempurnaan seorang hamba adalah dengan mewujudkan ibadah yang benar kepada Allah ta’ala, semakin bertambah ibadahnya kepada Allah, maka bertambah kesempurnaannya dan tinggi derajatnya.
Termasuk keutamaan ibadah juga bahwasanya manusia sangat membutuhkan ibadah melebihi segalanya, bahkan sangat darurat membutuhkannya. Karena manuisa secara tabi’at adalah lemah, faqir (butuh) kepada Allah. Sebagaimana halnya jasad membutuhkan makanan dan minuman, demikian pula hati dan ruh memerlukan ibadah dan mengharap kepada Allah. Bahkan kebutuhan ruh manusia kepada ibadah itu lebih besar daripada kebutuhan jasadnya kepada makanan dan minuman, karena sesungguhnya esensi dan subtansi hamba itu adalah hati dan ruhnya, keduanya tidak akan baik kecuali dengan menghadap (bertawajjuh) kepada Allah dengan beribadah. Maka jiwa tidak akan pernah merasakan kedamaian dan ketentraman kecuali dengan dzikir dan beribadah kepada Allah. Sekalipun seseorang merasakan kelezatan atau kebahagian selain dari Allah, maka kelezatan dan kebahagian tersebut adalah semu, tidak akan lama, bahkan apa yang ia rasakan itu sama sekali tidak ada kelezatan dan kebahagiannya.
Adapun Bahagia karena Allah dan perasaan takut kepada-Nya, maka itulah kebahagian yang tidak akan terhenti dan tidak hilang, dan itulah kesempurnaan dan keindahan serta kebahagian yang hakiki. Maka, barangsiapa yang menghendaki kebahagian abadi hendaklah ia menekuni ibadah kepada Allah semata. Maka dari itu, hanya orang-orang ahli ibadah sejatilah yang merupakan manusia paling Bahagia dan paling lapang dadanya.
Tidak ada yang dapat menenteramkan dan mendamaikan serta menjadikan seseorang merasakan kenikmatan hakiki yang ia lakukan kecuali ibadah kepada Allah semata. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Tidak ada kebahagian, kelezatan, kenikmatan dan kebaikan hati melainkan bila ia menyakini Allah sebagai Rabb, Pencipta Yang Maha Esa dan ia beribadah hanya kepada Allah saja, sebagai puncak tujuannya dan yang paling dicintainya daripada yang lain.”[8].
Termasuk keutamaan ibadah bahwasanya ibadah dapat meringankan seseorang untuk melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan kemunkaran. Ibadah dapat menghibur seseorang ketika dilanda musibah dan meringankan beban penderitaan saat susah dan mengalami rasa sakit, semua itu ia terima dengan lapang dada dan jiwa yang tenang.
Termasuk keutamaannya juga, bahwasanya seorang hamba dengan ibadahnya kepada Rabb-nya dapat membebaskan dirinya dari belenggu penghambaan kepada makhluk, ketergantungan, harap dan rasa cemas kepada mereka. Maka dari itu, ia merasa percaya diri dan berjiwa besar karena ia berharap dan takut hanya kepada Allah saja.
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “… Ibadah adalah maqam (kedudukan) yang sangat agung, yang dengannya seorang hamba menjadi mulia, karena kesetiaannya hanya kepada Allah ta’ala saja, dan Dia telah menyebut Rasul-Nya ﷺ sebagai hamba-Nya yang menempati maqam yang paling mulia. Firman Allah ta’ala,
سُبْحَـٰنَ ٱلَّذِىٓ أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِۦ لَيْلًۭا مِّنَ ٱلْمَسْجِدِ ٱلْحَرَامِ إِلَى ٱلْمَسْجِدِ ٱلْأَقْصَا ٱلَّذِى بَـٰرَكْنَا حَوْلَهُۥ لِنُرِيَهُۥ مِنْ ءَايَـٰتِنَآ ۚ إِنَّهُۥ هُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.” (QS. Al-Isra: 1). Allah telah menyebutkan Muhammad ﷺ sebagai seorang hamba ketika menurunkan Al-Qur’an kepadanya, ketika beliau menjalankan dakwahnya dan ketika diperjalankan pada malam hari. Dan Dia membimbingnya untuk senantiasa menjalankan ibadah pada saat-saat hatinya merasa sesak akibat pendustaan orang-orang yang menentangnya. Dia berfirman:
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَ (97) فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُن مِّنَ ٱلسَّـٰجِدِينَ (98) وَٱعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ ٱلْيَقِينُ (99)
“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hijr: 97-99).[9].
Keutamaan ibadah yang paling besar bahwasanya ibadah merupakan sebab utama untuk meraih keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala, masuk Surga dan selamat dari siksa Neraka.
Inilah penjelasan mengenai pengertian ibadah dalam Islam yang benar.
_____________________
Keterangan:
1). Pembahasan ini dinukil dari kitab ath-Thariiq ilal Islaam (cet. Darul Wathan, th. 1421 H) oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd, al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tahqiq Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid, dan Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighaatsatul Lahafan oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan ‘Abdul Hamid.
2). Lihat al-‘Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Abdul Hamid al-Halaby al-Atsary (hlm. 161-162), Maktabah Darul Ashaalah, th. 1416 H.
3). Zindiq adalah orang munafik, sesat dan mulhid.
4). Murji’ adalah orang Murjiah, yaitu golongan sesat yang mengatakan bahwa amal bukan bagian dari iman, iman itu hanya dalam hati.
5). Haruriy adalah orang dari golongan Khawarij yang pertama kali muncul di Harura’, dekat Kuffah, yang beryakinan bahwa orang mukmin yang berdosa besar adalah kafir.
6). Shahih: HR. Muslim no. 1718 [18] dan Ahmad (VI/146; 180; 256), dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.
7). Lihat Al-Ubudiyyah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ditahqiq oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid (hlm. 221-222).
8). Mawaaridul Amaan al-Muntaqa min Ighatsatul Lahafan (hlm. 67), oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
9). Dinukil dari Tafsir Ibnu Katsir (I/137), tahqiq Sami Salamah, Daar Thaybah.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas Penerbit Pustaka At-Taqwa, Cetakan Ketiga belas Jumadil Awwal 1440 H – Januari 2019 M].
Wallahu A’lam
Posting Komentar untuk "Pengertian Ibadah Menurut Bahasa Arab dan Istilah Syar'i"