Mitos Seputar Bulan Muharram

Mitos di Bulan Muharram

Mitos Seputar Bulan Muharram[1]

Sudah menjadi ‘keyakinan’ bagi sebagian masyarakat Indonesia -Jawa khususnya- bahwa bulan Muharram -atau bulan Suro dalam istilah Jawa- adalah bulan keramat. Pada tanggal-tanggal tertentu mereka menghentikan aktivitas-aktivitas yang bersifat hajatan besar menghindari perjalanan jauh, sebab hari itu mereka anggap sebagai hari naas atau sial.

Bulan itu juga mereka ditakuti bagi pasangan yang hendak merencanakan pernikahan. Oleh karenanya mereka sangat menghindarinya dan memilih pernikahan dilaksanakan pada bulan-bulan lain. Pasalnya, -menurut klaim mereka- pernikahan yang dilangsungkan pada bulan Muharram kerap mendatangkan sial bagi pasangan, seperti penceraian, kematian, tidak harmonis, dililit utang, dsb. Budaya ini sudah mengakar sebagai warisan nenek moyang kita. Kami tidak tahu secara pasti ini dari mana sumbernya, tetapi mungkin saja sebagai pengaruh asimilasi budaya Hindu dan Islam yang ketika berbaur memunculkan isme baru yaitu paham kejawen.

Mitos Bulan Suro dalam Timbangan

Sejatinya, mitos tersebut di atas tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Batilnya mitos itu minimal bisa dipandang dari tiga tinjauan: tinjauan syariat Islam, sejarah dan sisi rasional.

1.     Tinjauan Syariat

Dari segi syariat, bulan Muharram adalah bulan yang mulia dan termasuk dalam golongan 4 bulan istimewa yang diharamkan Allah azza wa jalla.

Disunnahkan untuk memperbanyak puasa di bulan ini. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

أَفْضَلُ الصِّيامِ، بَعْدَ رَمَضانَ، شَهْرُ اللهِ المُحَرَّمُ، وأَفْضَلُ الصَّلاةِ، بَعْدَ الفَرِيضَةِ، صَلاةُ اللَّيْلِ.

“Puasa yang paling utama setelah bulan Ramadhan adalah bulan Allah; Muharram. Dan shalat paling utama sesudah shalat fardhu adalah shalat malam.”[2]

Terlebih lagi berpuasa di tanggal sepuluh hari bulan ini, ditambah dengan tanggal sembilan atau sebelas. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

وَصِيامُ يَومِ عاشُوراءَ، أَحْتَسِبُ على اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتي قَبْلَهُ

“Aku berharap pada Allah agar puasa di hari Asyura’ (tanggal sepuluh bulan Muharram) bisa menghapuskan dosa satu tahun lalu.”[3]

Sedangkan yang dilarang oleh syariat di bulan ini adalah melakukan peperangan kecuali apabila umat Islam diperangi. Termasuk diharamkan pula perbuatan-perbuatan menzalimi diri sendiri. “Perbuatan maksiat di bulan ini dilipatgandakan dosanya.” Apalagi jika maksiat tersebut bernuansa syirik dan khurafat, seperti keyakinan bahwa bulan ini adalah bulan sial.

Menyakini adanya hari atau bulan sial merupakan bentuk celaan terhadap waktu yang Allah ciptakan, dan itu beresiko mencela Allah yang menciptakannya. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

لا تَسُبُّوا الدَّهْرَ، فإنَّ اللَّهَ هو الدَّهْرُ

“Janganlah kalian mencela dahr (waktu) karena Allah itu adalah dahr.”[4]

Maksudnya bahwa Allah azza wa jalla adalah pencipta waktu, sebagaimana terdapat dalam riwayat lain yang menjadi penafsir hadits di atas. Dan mencela ciptaan Allah beresiko mencela penciptanya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

قالَ اللَّهُ عزَّ وجلَّ: يُؤْذِينِي ابنُ آدَمَ؛ يَسُبُّ الدَّهْرَ، وأنا الدَّهْرُ، بيَدِي الأمْرُ، أُقَلِّبُ اللَّيْلَ والنَّهارَ

“Allah azza wa jalla berfirman, “Anak Adam telah menyakiti-Ku; ia mencela dahr (waktu), padahal Aku adalah (pencipta) dahr. Di tangan-Ku segala perkara, Aku memutar malam dan siang.”[5]

Hari, bulan dan tahun yang Allah ciptakan semuanya baik, tidak ada yang sial atau naas. Sesungguhnya kesialan, kecelakaan adalah bagian dari takdir Allah, yang tidak diketahui hamba-Nya kecuali setelah terjadi. Allah bisa menimpakan kesialan atau kenaasan kepada siapapun, dimanapun dan kapanpun, bila Allah menghendakinya. Dan hamba harus rela menerima takdir tersebut.

Perlu diketahui pula bahwa mengkambinghitamkan waktu sebagai penyebab kesialan suatu usaha, sejatinya merupakan mitos masyarakat Arab jahiliyyah, Mereka sering berkumpul di berbagai kesempatan untuk berbincang-bincang tentang berbagai hal dan terkadang dalam perbincangan mereka terlontar ucapan-ucapan yang mempermasalahkan waktu sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau manakala mereka ditimpa berbagai musibah lainnya.

Disamping itu, keyakinan adanya hari atay bulan sial merupakan bentuk thiyarah atau tasya’um (menganggap sial sesuatu) yang dilarang oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam, karena ia merupakan kesyirikan yang biasa dilakukan oleh kaum jahiliyyah sebelum Islam. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

الطِّيَرةُ شركٌ

“Thiyarah adalah kesyirikan” (beliau mengulanginya 3x).[6]

Kemudian perlu diketahui juga bahwa tidak ada larangan melakukan aktifitas yang mubah di bulan Muharram, apalagi yang bernuansa ibadah, semisal pernikahan.

2.     Tinjauan Sejarah

Pada bulan ini pula -tepatnya tanggal 10- Nabi Musa alaihissalam selamat dari kejaran tentara Fir’aun. Ibnu Abbas mengisahkan, “Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kembali ke Madinah, beliau mendapatkan orang-orang Yahudi berpuasa pada hari Asyuro’. Maka beliau bertanya kepada mereka, “Hari apa ini yang kalian sekarang sedang berpuasa?” Maka mereka menjawab, “Hari ini adalah hari yang agung di mana Allah ta’ala menyelamatkan Nabi Musa bersama kaumnya serta menggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musa berpuasa pada hari itu untuk mensyukurinya, kemudian kami mengikutinya.” Rasulullah pun bersabda, “Kami lebih berhak dan lebih utama terhadap Musa dari pada kalian.” Kemudian beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa pula.”[7]

Kisah ini memuturkan kejadian suka-cita, bukan duka cita, apalagi kisah kesialan. Jadi, menganggap bulan Muharram sebagai bulan naas tidak ada landasan sejarah yang membenarkannya. Karena pada bulan ini justru kita mendapatkan anugerah yang sangat tinggi, wajarlah jika kemudian kaum muslimin mensyukurinya dengan puasa tanggal 10 Muharram.

3.     Tinjauan Produktifitas Amal

Secara rasional, tidak dipergunakannya sebuah hari -lebih-lebih sebulan- untuk melakukan aktivitas sebagaimana layaknya, tentu akan mengurangi produktifitas kerja atau amal. Ketika pada hari itu semestinya bisa dimanfaatkan misalnya untuk melakukan perjalanan pulang kampung, atau berangkat ke tempat kerja, pendidikan, silaturrahim atau hal-hal lain yang sangat bermanfaat, maka semuanya harus ditunda besok harinya atau harus buru-buru dilakukan sehari sebelumnya.

Masyarakat cenderung memahami naasnya suatu usaha hanya pada masalah-masalah duniawiyyah. Takut kecelakaan, takut bangkrut, takut miskin dan takut mati. Ini menunjukkan bahwa orientasi kerja mereka hanya semata-mata hasil yang bagus, sementara mereka tidak siap untuk menerima kerugian, apalagi sampai pada tingkat kematian; karena mereka memang tidak cukup bekal amal untuk itu. Padahal semua manusia pasti mengalaminya. Dan yang jelas waktunya tidak mesti pada bulan Muharram, melainkan di semua bulan manusia bisa mendapatkan keberuntungan maupun kerugian. Tidak ada satupun penelitian yang menghasilkan data bahwa pada bulan Muharram angka kecelakaan meningkat, ratio kematian paling tinggi, kasus penceraian paling banyak, dsb. Apakah dengan menghindari bulan ini dari melakukan aktifitas tertentu lantas dijamin bebas dari masalah? Tentu tidak jawabannya, sekali lagi semua tergantung dari usahanya dan taufiq dari Allah subhanahu wa ta’ala, bukan waktu naas atau mujurnya.

Kita kan masyarakat Jawa?!

Manakala dipaparkan keterangan di atas, barangkali akan ada sebagian kalangan yang berdalih, “Walaupun beragama Islam, namun kita kan tinggal di tanah Jawa, jadi tidak etis jika kita tidak mengikuti atau menghormati adat istiadat masyarakat Jawa!.”

Jawabannya;

Allah azza wa jalla telah memerintahkan dalam al-Qur’an agar kita bertotalitas dalam berislam. Kata Allah azza wa jalla,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱدْخُلُوا۟ فِى ٱلسِّلْمِ كَآفَّةًۭ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيْطَـٰنِ ۚ إِنَّهُۥ لَكُمْ عَدُوٌّۭ مُّبِينٌۭ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 208)

Bukanlah merupakan sikap totalitas dalam beriman, manakala seseorang shalat, puasa dan zakat dengan cara Islam, namun berkeyakinan dengan sesuatu yang tidak selaras dengan ajaran Islam.

Islam bukanlah agama yang menolak mentah-mentah setiap adat istiadat, apalagi jika budaya tersebut selaras dengan ajaran Islam. Namun Islam akan memerangi budaya manakala bertabrakan dengan ajarannya, sebagai upaya agar para pengikutnya patuh dengan setiap aturan yang digariskan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.[8]



[1] Benarkah Muharram Bulan Sial? Tulisan Ustadz Abdullah Zaen Lc, MA, dimuat di website muslimorid.

[2] HR. Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

[3] HR. Muslim dan Ahmad dari Abu Qatadah radhiyallahu anhu.

[4] HR. Muslim (XV/6 no. 5827) dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

[5] HR. Bukhari (hal. 1034 no. 5827) dan Muslim (XV/5 no. 5824) dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu.

[6] HR. Ahmad dan dinyatakan shahih oleh al-Hakim, Ibn Hibban dan al-Albany.

[7] HR. Bukhari dan Muslim

[8] Disalin dari buku Misteri Bulan Asyuro Antara Mitos dan Fakta karya Abu Aniisah Syahrul Fatwa bin Lukman dan Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi Cet ke-1 Syawwal 1445 H, Diterbitkan oleh Yusuf Abu Ubaidah.

Posting Komentar untuk "Mitos Seputar Bulan Muharram"