Hukum Kurban Dalam Islam

Hukum Qurban Udhiyyah Dalam Islam

Hukum Kurban Dalam Islam

Berkurban adalah ibadah yang disyariatkan, berdasarkan dalil dari al-Qur'an, hadits dan kesepakatan ulama.[1]Perinciannya sebagai berikut:

1. Dalil dari al-Qur'an

Allah jalla jalaaluh berfirman:

قُلۡ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحۡيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

"Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)." (QS. al-An'am: 162-163) Allah jalla jalaaluh berfirman:

 فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَٱنۡحَرۡ

"Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah." (QS. al-Kautsar: 2)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "Allah jalla jalaaluh memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam untuk mengumpulkan dua ibadah yang agung ini; yaitu shalat dan berkurban, yang keduanya menunjukkan pendekatan diri kepada Allah jalla jalaaluh, sikap tunduk, merasa butuh dan husnuzhan kepada-Nya, kekuatan hati dan ketenangan kepada Allah jalla jalaaluh terhadap janjinya. Berbeda jauh dengan keadaan orang yang sombong lagi kaya yang tidak merasa butuh dalam ibadah shalat mereka kepada Allah, yang mereka tidak menyembelih karena takut miskin."[2] Allah jalla jalaaluh berfirman juga;

 وَلِكُلِّ أُمَّة جَعَلۡنَا مَنسَكا لِّيَذۡكُرُواْ ٱسۡمَ ٱللَّهِ عَلَىٰ مَا رَزَقَهُم مِّنۢ بَهِيمَةِ ٱلۡأَنۡعَٰمِۗ فَإِلَٰهُكُمۡ إِلَٰه وَٰحِد فَلَهُۥٓ أَسۡلِمُواْۗ وَبَشِّرِ ٱلۡمُخۡبِتِينَ

"Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah kepada mereka, Maha Tuhanmu ialah Tuhan yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (QS. al-Hajj: 34)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan: "Allah jalla jalaaluh mengabarkan bahwa menyembelih kruban dengan menyebut nama Allah jalla jalaaluh tetap disyariatkan pada seluruh agama."[3]

2. Dalil dari Hadits

Adapun dalil tentang anjuran berkurban dari hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam maka telah tetap melalui ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau. Yaitu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَن ذَبَحَ بَعْدَ الصَّلاةِ تَمَّ نُسُكُهُ، وأَصابَ سُنَّةَ المُسْلِمِينَ

"Barangsiapa yang menyembelih setelah shalat sungguh telah sempruna penyembelihannya, dan dia telah mencocoki sunnah kaum muslimin."[4]

Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata: "Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyembelih dua ekor kambing yang bertanduk dan gemuk, beliau membaca basmallah dan bertakbir."[5]

Abdullah bin Umar radhiyallahu anhu mengatakan: "Nabi shallallahu alaihi wa sallam tinggal di Madinah sepuluh tahun dan beliau selalu berkurban."[6]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata: "Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan Udhiyyah (kurban)."[7]

3. Ijma' Ulama

Adapun kesepakatan ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qudamah rahimahullah; "Kaum muslimin telah sepakat tentang disyariatkannya berkurban."[8]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Tidak ada perselisihan bahwa berkurban termasuk syiar agama Islam."[9]

Apakah kurban hukumnya wajib?

Setelah para ulama bersepakat akan disyariatkannya berkurban, mereka berselisih pendapat apakah kurban hukumnya wajib ataukah sunnah? Para ulama berselisih tajam dalam masalah ini hingga terpolar menjadi dua pendapat:[10]

Pertama: Berkurban hukumnya wajib. Inilah pendapat yang dipilih oleh al-Auza'i, al-Laits, madzhab Abu Hanifah,[11] salah satu riwayat dari Imam Ahmad[12] dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam.[13]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan: "Kewajiban kurban disyariatkan memiliki kemampuan dan punya kelebihan dari kebutuhannya yang asasi seperti halnya sedekah fitrah."[14]

Kedua: Berkurban hukumnya sunnah muakkad. Inilah pendapat jumhur ulama dari kalangan madzhab as-Syafi'iyyah, Malikiyyah dan Hanabilah. Bahkan, pendapat ini menegaskan bahwa orang yang mampu berkurban akan tetapi tidak berkurban maka hukumnya makruh.[15] Pendapat inilah yang nampak dipilih oleh Imam Bukhari,[16] Imam Ibnu Hazm rahimahullah bahkan beliau berkata: "Tidak sah dari seorang sahabatpun bahwa berkurban hukumnya wajib."[17] Pendapat ini disetujui oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah.[18]

Baca juga: Fiqih Praktis Kurban Udhiyyah

Pendapat terkuat yang menerangkan jiwa adalah yang dipilih oleh jumhur ulama, bahwa kurban hukumnya hanya sunnah muakkad (sunnah yang ditekankan). Akan tetapi, yang lebih berhati-hati bagi seorang muslim adalah tidak meninggalkan ibadah kurban jika dia mampu. Karena dengan melaksanakannya lebih membebaskan tanggungan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَن كان له سَعَةٌ ولم يُضَحِّ، فلا يَقْرَبَنَّ مُصَلّانا

"Barangsiapa yang mempunyai keluasan dan tidak berkurban maka janganlah dia mendekati tempat shalat kalian."[19]

Adapun bagi yang tidak mampu, yang tidak punya harta kecuali hanya nafkah untuk kelurganya, maka kurban tidak wajib baginya.[20]

Faedah:

1. Para ulama sepakat bahwa kurban karena sebab nadzar wajib ditunaikan. Karena kurban semacam ini adalah pendekatan diri kepada Allah jalla jalaaluh berupa ketaatan yang harus dilaksanakan. Wajibnya kurban karena sebab nadzar hukumnya berlaku bagi yang kaya atau yang miskin, mereka semua sama dalam status hukumnya.[21]

2. Apakah boleh berhutang agar bisa berkurban?

Allah jalla jalaaluh tidak akan membebani seorang hamba kecuali sesuai kemampuannya. Allah jalla jalaaluh berfirman:

 لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَاۚ

"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS. al-Baqarah: 286)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah pernah ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab: "Apabila dia punya kemampuan untuk membayar, kemudian berhutang untuk membeli hewan kurban maka itu baik. Dan hal itu tidak wajib baginya." Allahu A'lam[22]

3. Berkurban untuk orang yang sudah meninggal?

Pada asalnya kurban itu untuk orang yang masih hidup. Lantas bolehkah kita berkurban untuk orang yang sudah meninggal? Masalah ini tidak lepas dari tiga keadaan:[23]

Pertama: Orang yang sudah meninggal diikut sertakan bersama orang yang masih hidup. Misalnya ada orang yang berkurban dengan niat untuk dirinya dan keluarganya, dan diantara keluarganya tersebut ada yang sudah meninggal, maka keadaan seperti ini dibolehkan. Dasarnya adalah hadits yang menceritakan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika menyembelih hewan kurbannya beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata:

باسْمِ اللهِ، اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِن مُحَمَّدٍ، وَآلِ مُحَمَّدٍ، وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ

"Bismillah (Dengan menyebut nama Allah), Ya Allah, terimalah kurban ini, dari Muhammad, keluarga Muhammad dan ummat Muhammad."[24]

Kedua: Berkurban untuk orang yang sudah meninggal tanpa diikutkan bersama orang yang masih hidup. Misalnya seorang anak membeli kambing kurban dan niatnya bahwa kurban ini untuk ibunya yang sudah meninggal, maka hal ini hendaknya ditinggalkan oleh seorang muslim, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menyendirikan ibadah kurban untuk keluarganya yang sudah meninggal saja, dan hal ini tidak pernah dikerjakan oleh para sahabat juga.

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: "Termasuk kesalahan apa yang dilakukan oleh kebanyakan manusia dalam ibadah kurban, yaitu mereka berkurban untuk orang yang sudah meninggal sebagai hadiah atau melaksanakan wasiat akan tetapi mereka tidak berkurban untuk diri dan keluarga mereka yang masih hidup, mereka meninggalkan apa yang telah datang dari sunnah dan mengharamkan diri mereka sendiri dari keutamaan kurban. Sungguh ini termasuk kebodohan, andaikan mereka mengetahui bahwa yang sunnah adalah seorang insan berkurban untuk dirinya dan keluarganya, maka hal ini akan mencakup orang yang sudah meninggal mapupun yang masih hidup, dan keutamaan Allah jalla jalaaluh amat luas."[25]

Ketiga: Berkurban untuk mayit atas dasar wasiatnya sebelum meninggal dunia, hal ini dibolehkan berdasarkan firman Allah jalla jalaaluh yang berbunyi:

 فَمَنۢ بَدَّلَهُۥ بَعۡدَ مَا سَمِعَهُۥ فَإِنَّمَآ إِثۡمُهُۥ عَلَى ٱلَّذِينَ يُبَدِّلُونَهُۥٓۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيم

"Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, Maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS. al-Baqarah: 181)[26]



[1] Ibnu Utsaimin, Ahkam al-Udhiyyah wa adz-Dzakaat hal.5

[2] Fathul Mujib Syarah Kitab at-Tauhiid hal. 144

[3] Tafsir Ibnu Katsir 5/420

[4] HR. Bukhari: 5560, Muslim: 1961

[5] HR. Bukhari: 5565, Muslim: 1966

[6] HR. Tirmidzi: 1507, Ahmad 2/28 dengan sanad yang hasan. Disetujui oleh al-Albani dalam al-Misykah: 1475

[7] Zaadul Ma’aad 2/317

[8] Al-Mughni 13/360

[9] Fathul Bari 10/3

[10] Ibnu Utsaimin, Ahkam al-Udhiyyah hal.7, beliau menjelaskan dengan bagus perselisihan ulama tentang hukum udhiyyah dengan menyertakan dalil dari masing-masing pendapat dan memberikan komentar dari setiap dalil yang dipaparkan.

[11] Al-Hidayah 4/70

[12] Al-Inshaf 4/105

[13] Majmu’ Fatawa 23/162

[14] idem

[15] Al-Muhadzzab 1/317, Bidayah al-Mujtahid 2/431, al-Mughni 13/360

[16] Fathul Bari 10/3

[17] Al-Muhalla 7/355

[18] Fatwa Lajnah Daimah 11/449 fatwa no. 9563

[19] HR. Ibnu Majah: 3123, hadits hasan sebagaimana dalam Takhrij Musykilah al-Faqr no. 102 oleh al-Albani

[20] Abdullah Fauzan, Minhatul ‘Allam Fi Syarhi Bulugh Maram 9/280

[21] Al-Kassani, Bada’i as-Shana 5/61, as-Syirbini, Mughni al-Muhtaj 4/283. Syarh Muntaha al-Iraadaat 1/612

[22] Majmu’ Fatawa 26/305

[23] Ibnu Utsaimin, Ahkam al-Udhiyyah hal. 18-19

[24] HR. Muslim: 1967

[25] Ahkam al-Udhiyyah hal.19

[26] Disalin dari buku Mendulang Pahala di Bulan Dzulhijjah karya Abu Aniisah Syahrul Fatwa bin Lukman, Cet ke-1 Dzulqo’dah 1437 H, Pustaka Al-Furqon.


Posting Komentar untuk "Hukum Kurban Dalam Islam"