Hukum-hukum menjadi
imam dalam shalat. Hukum-hukum imamah (menjadi imam) dalam shalat. Yang
dimaksud dengan imamah adalah keterkaitan shalatnya makmum dengan imamnya.
SIAPA YANG PALING
BERHAK MENJADI IMAM
Rasulullah ﷺ telah
menjelaskan siapa yang paling berhak dan paling patut menjadi imam dalam sabda
beliau,
يؤمُّ القومَ أقرؤُهم لِكتابِ اللَّهِ فإن
كانوا في القراءةِ سواءً فأعلمُهم بالسُّنَّةِ فإن كانوا في السُّنَّةِ سواءً فأقدمُهم
هجرةً وإن كانوا في الهجرةِ سواءً فأقدمُهم سِلْمًا
“Hendaknya yang
mengimami suatu kaum adalah orang yang paling bagus bacaannya terhadap Kitab
Allah, lalu bila mereka dalam hal bacaan sama, maka yang paling mengetahui
sunnah, lalu bila mereka dalam sunnah sama, maka yang paling dulu hijrahnya,
lalu bila mereka dalam hijrah sama, maka yang paling dulu masuk Islam.”[1][1]
Orang yang paling
patut dan paling berhak menjadi imam adalah sebagai berikut:
1). Yang paling bagus bacaannya, yaitu orang yang
menguasai bacaan al-Qur’an dengan baik, dan dapat membawakannya secara
sempurna, yang mengetahui fikih shalat, maka bila ada dua orang, yang pertama
lebih bagus bacaannya dan yang kedua kurang bagus bacaannya, namun dia lebih
paham fikih shalat daripada yang pertama, maka orang yang bacaannya biasa namun
lebih paham fikih shalat didahulukan atas orang yang bacaannya bagus namun
kurang paham fikih shalat, karena kebutuhan pada pemahaman fikih shalat dan
hukum-hukumnya lebih dibutuhkan daripada kebutuhan pada bagusnya bacaan.
2). Kemudian orang yang lebih fakih dan lebih mengerti
sunnah. Bila ada dua imam yang sama dalam hal bacaan, namun salah satu dari
keduanya lebih fakih dan lebih mengetahui sunnah, maka yang lebih fakih itu
didahulukan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
فإن كانوا في القراءةِ سواءً فأعلمُهم بالسُّنَّةِ
“Lalu bila mereka sama
dalam hal bacaan, maka yang paling mengetahui sunnah diantara mereka.”
3). Kemudian orang yang paling dulu hijrahnya dari
negeri kekafiran ke negeri Islam, bila mereka sama dalam hal bacaan dan ilmu
tentang sunnah.
4). Kemudian yang paling dulu masuk Islam, bila mereka
dalam hal hijrah itu sama.
5). Kemudian yang paling tua, bila mereka semuanya sama
dalam semua perkara di atas, maka yang paling tua didahulukan, berdasarkan
sabda Nabi ﷺ di atas,
وإن كانوا في الهجرةِ سواءً فأقدمُهم سِلْمًا
“Lalu bila mereka
dalam hijrah sama, maka yang paling dulu masuk Islam di antara mereka.” Dan disebutkan dalam satu riwayat,
سِنًّا
“(Yang paling tua)
umurnya.”
Dan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ,
وليَؤُمُّكم أكبرُكم
“Hendaknya yang paling
tua dari kalian menjadi imam.”
Bila keduanya sama
dalam hal-hal di atas, maka diundi, dan yang menang dalam undian, dialah yang
berhak didahulukan.
Tuan rumah lebih
berhak menjadi imam daripada tamunya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لَا يَؤُمَّنَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِيْ أَهْلِهِ وَلَا فِي
سُلْطَانِهِ
“Janganlah seorang
laki-laki mengimami laki-laki lain pada keluarganya dan pada (daerah)
kekuasaannya.”[2][2]
Penguasa lebih berhak
menjadi imam daripada selainnya, -dia adalah pemimpin besar-, berdasarkan
keumuman hadits di atas. Demikian juga imam masjid ratib (imam tetap), dia
lebih berhak menjadi imam daripada selainnnya kecuali dari pemimpin,hingga
sekalipun selainnya lebihcbagus bacaannya dan lebih mengetahui fikih,
berdasarakn keumuman hadits,
لَا يَؤُمَّنَ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِيْ أَهْلِهِ وَلَا فِي
سُلْطَانِهِ
“Janganlah seorang
laki-laki mengimami laki-laki lain pada keluarganya dan pada (daerah)
kekuasaannya.”
ORANG YANG HARAM
MENJADI IMAM
Diharamkan menjadi
imam dalam kondisi sebagai berikut:
1). Wanita mengimami laki-laki, berdasarkan keumuman
sabda Nabi,
لن يُفلِحَ قومٌ ولَّوا أمرَهمُ امرأةً
“Tidak akan beruntung
suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada wanita.”[3][3]
Karena pada hukum
asalnya, wanita itu dimundurkan di belakang shaf untuk menjaga dan menutupi
mereka. Seandainya wanita dimajukan ke depan menjadi imam, maka hal ini
bertentangan dengan dasar syar’i.
2). Keimaman orang yang berhadats dan orang yang
terkena najis sementara dia mengetahuinya. Bila makmum tidak mengetahui hal itu
sampai shalat selesai, maka shalat makmum sah.
3). Keimaman orang yang ummi, yaitu orang yang tidak
bisa membaca al-fatihah dengan benar, sehingga tidak bisa membacanya dengan
hafalan dan tidak pula dengan bacaan langsung, atau mengidhghamkan huruf yang
bukan idgham, atau mengganti huruf dengan huruf yang lainnya atau salah dalam
bacaan yang bisa mengubah makna, maka orang seperti ini tidak sah menjadi imam
kecuali bila mengimami orang yang sama dengannya, karena dia tidak mampu
mewujudkan salah satu rukun shalat.
4). Keimaman seorang fasik ahli bid’ah. Bila
kefasikannya jelas dan mengajak kepada bid’ah yang mengkafirkan, maka tidak sah
shalat di belakangnya, berdasarkan Firman Allah Ta’ala,
أَفَمَن كَانَ مُؤْمِنًۭا كَمَن كَانَ فَاسِقًۭا ۚ لَّا يَسْتَوُۥنَ
“Maka apakah orang
yang beriman seperti orang fasik (kafir)? Mereka tidak sama.” (QS. As-Sajdah: 18)
5). Orang yang tidak mampu rukuk, sujud, berdiri, dan
duduk, sehingga imamahnya (menjadi imam) tidak sah bagi makmum
yang mampu melakukan semua itu.”
ORANG YANG MAKRUH
MENJADI IMAM
Orang-orang berikut
ini dimakruhkan menjadi imam:
1). Orang yang banyak melakukan kesalahan logat (lahn)
dan kekeliruan dalam membaca. Ini selain untuk al-Fatihah. Adapun kesalahan
untuk al-Fatihah yang mengubah makna, maka shalat berjamaah bersamanya tidak
sah sebagaimana sudah dijelaskan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
يؤمُّ القومَ أقرؤُهم
“Yang mengimami jamaah
adalah yang paling bagus bacaannya.”
2). Orang yang mengimami suatu kaum sementara mereka
membencinya atau sebagian besar dari mereka membencinya, berdasarkan sabda Nabi
ﷺ,
ثلاثةٌ لا تَرتَفِعُ صلاتُهُم فوقَ رءوسِهِم
شِبرًا رجلٌ أمَّ قومًا وَهُم لَهُ كارِهونَ،
“Ada tiga orang yang
shalat mereka tidak bisa naik ke atas kepada mereka (yakni tidak diterima) satu
jengkal pun: Seorang laki-laki yang mengimami suatu kaum sementara mereka
membencinya…”[4][4]
3). Orang yang tidak jelas dalam mengucapkan sebagian
huruf dan tidak mengucapkannya secara fasih. Demikian juga orang yang gagap
dalam mengucapkan sebagian huruf, seperti seperti orang yang mengulang-ulang
huruf fa’ atau orang yang mengulang-ulang huruf ta’ dan yang sepertinya, hal
ini karena dalam bacaannya terdapat tambahan huruf.
POSISI IMAM DARI
MAKMUM
Yang sunnah adalah
posisi imam di depan makmum sehingga makmum berdiri di belakang imam, bila
jumlah makmum dua orang ke atas, karena Nabi ﷺ apabila
berdiri untuk melaksanakan shalat (menjadi imam), maka beliau maju sementara
para sahabat berdiri di belakang beliau. Ini berdasarkan hadits riwayat Muslim
dan Abu Dawud,
أَنَّ جَابرًا وَجَبَّارًا وَقَفَا, أَحَدُهُمَا عَنْ يَمِيْنِهِ
وَالأخَرُ عَنْ يَسَارِهِ, فَأَخَذَ بِأَيْدِيْهِمَا حتّى أقامهما خَلْفَهُ.
“Bahwa Jabir dan
Jabbar berdiri, salah satunya di sebelah kanan Nabi dan yang satunya lagi di
sebelah kiri beliau, maka beliau memegang tangan keduanya sehingga
memberdirikan keduanya di belakang beliau.”[5][5]
Juga berdasarkan
ucapan Anas radhiyallahu ‘anhu manakala Nabi ﷺ shalat di
rumahnya,
ثُمَّ يَؤُمُّ رَسولُ اللهِ ﷺ، وَنَقُومُ خَلْفَهُ
فيُصَلِّي بنا
“Kemudian
Rasulullah ﷺ menjadi
imam, dan kami berdiri di belakang beliau, lalu beliau shalat mengimami kami.”[6][6]
Sementara, bila
makmumnya satu orang laki-laki, maka dia berdiri di kanan imam sejajar
dengannya, karena Nabi ﷺ memindahkan Ibnu Abbas dan Jabir ke kanan
manakala keduanya berdiri di sebelah kiri beliau.[7][7]
Sah bila imam berdiri
di tengah-tengah dua makmum, karena Ibnu Mas’ud pernah shalat di antara Alqamah
dan al-Aswad lalu dia berkata,
هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَعَلَ.
“Demikianlah aku
melihat Rasulullah ﷺ melakukan.”[8][8]
Hanya saja, hal ini
terbatas pada keadaan darurat, dan yang lebih utama adalah makmum berdiri di
belakang imam.
Adapun kaum wanita,
maka mereka berdiri di belakang shaf laki-laki, berdasarkan hadits Anas
radhiyallahu ‘anhu,
صففْتُ أنا واليتيمُ وراءَهُ والعجوزُ من ورائِنا
“Aku dan anak yatim
(yaitu, Dhumairah) bershaf di belakang Nabi, sementara wanita tua itu (yakni
Mulaikah, neneknya Anas) di belakang kami.”[9][9]
APA YANG DITANGGUNG
IMAM DARI MAKMUM
Imam menanggung dari
makmum kewajiban membaca surat dalam shalat jahriyah (shalat yang bacaannya
dibaca nyaring), berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang
marfu’,
وإذا قرَأ فأَنصِتوا
“Bila imam membaca
(al-Qur’an), maka diamlah (untuk menyimak).”[10][10]
Dan juga berdasarkan
sabda Nabi ﷺ,
من كانَ لَهُ إمامٌ فقراءتُهُ لَهُ قراءةٌ
“Barangsiapa mempunyai
imam, maka bacaan imam adalah bacaan baginya.”[11][11]
Adapun untuk shalat
sirriyah (shalat yang bacaannya dibaca pelan), maka imam tidak menanggung
bacaan al-Fatihah dari makmum.
MAKMUM TIDAK BOLEH
MENDAHULUI IMAM
Makmum tidak boleh
mendahului imam, sehingga barangsiapa bertakbiratul ihram sebelum imam, maka
shalatnya tidak sah, karena syaratnya adalah dia melakukannya sesudah imam,
sementara dia telah melewatkan syarat tersebut. Makmum harus memulai perbuatan
shalat sesudah imamnya, berdasarkan hadits,
إنَّما جُعِلَ الإمامُ لِيُؤْتَمَّ به،
فَإِذا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وإذا رَكَعَ فارْكَعُوا، وإذا قالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَن
حَمِدَهُ، فَقُولوا: رَبَّنا ولَكَ الحَمْدُ، وإذا سَجَدَ فاسْجُدُوا،
“Sesungguhnya imam itu
dijadikan hanya untuk diikuti, maka bila dia bertakbir maka bertakbirlah, bila
dia rukuk maka rukuklah, bila dia mengucapkan, ‘Allah mendengar orang yang
memuji-Nya’, maka ucapkanlah, ‘Wahai Tuhan (Rabb) kami, dan bagiMu segala
puji.’ Dan bila sujud, maka sujudlah.”[12][12]
Bila makmum bertakbir
dan salam berbarengan dengan imam, maka hal ini makruh, karena menyelisihi
sunnah, namun shalatnya tidak batal, karena dia melakukan rukun bersama-sama
dengan imamnya. Bila makmum mendahului imam, maka diharamkan, berdasarkan sabda
Nabi ﷺ,
لا تسبقني بالركوع ولا بالسجود ولا بالقيام
“Jangan mendahuluiku
dengan rukuk, sujud, dan berdiri.”[13][13]
Larangan itu menuntut
pengharaman.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu a’nhu secara marfu’,
أَما يَخْشى الذي يَرْفَعُ رَأْسَهُ قَبْلَ الإمامِ،
أنْ يُحَوِّلَ اللَّهُ رَأْسَهُ رَأْسَ حِمارٍ؟
“Apakah orang yang
mengangkat kepalanya (dari sujud atau rukuk) sebelum imam, tidak takut bila
Allah mengubah kepalanya menjadi kepala keledai.”[14][14]
BERBAGAI MACAM HUKUM
SEPUTAR MENJADI IMAM DAN JAMAAH
Di antara hukum-hukum
yang berkaitan dengan menjadi dengan menjadi imam dan jamaah selain dari yang
sudah disebutkan di atas adalah:
1). Orang-orang yang dewasa dan berakal dianjurkan untuk
dekat dengan imam; maka orang-orang yang mempunyai keutamaan, dewasa, berakal,
dan mempunyai sifat kehati-hatian hendaklah diutamakan berdiri di belakang imam
atau dekat dengan imam, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
ليلينّي منكُم أوْلُوا الأحلامِ والنُّهى، ثم الذين يلونهُم،
ثم الذينَ يلونهُم
“Hendaknya berdiri di
belakangku orang-orang dewasa dan berakal di antara kalian, kemudian
orang-orang sesudah mereka, kemudian orang-orang sesudah mereka.”[15][15]
Hikmah dari anjuran
ini adalah agar mereka mengambil (tata cara dan bacaan) dari imam, meluruskan
bacaannya bila hal itu diperlukan, dan bila terjadi sesuatu dalam shalat, maka
imam bisa menunjuk salah seorang dari mereka sebagai penerusnya.
2). Berusaha mendapatkan shaf pertama. Para makmum dianjurkan
untuk maju ke shaf pertama, berusaha mendapatkannya dan waspada supaya tidak
tertinggal, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
تَقدَّموا فأْتَمُّوا بي، ولْيَأتَمَّ بكم مَن بعدَكم،
ولا يَزالُ قَومٌ يَتَأخَّرون، حتّى يُؤخِّرَهمُ اللهُ.
“Majulah dan hendaklah
kalian mengikutiku, dan hendaknya orang yang sesudah kalian mengikuti kalian,
dan suatu kaum terus mengakhirkan diri mereka (dengan berdiri di belakang)
hingga akhirnya Allah pun mengakhirkan mereka.”[16][16]
Dan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ,
لو يعلمُ الناسُ ما في النداءِ والصفِّ
الأولِ، ثم لم يجدوا إلا أن يستهموا عليه لاسْتَهَمُوا
“Seandainya manusia
mengetahui pahala di balik adzan dan shaf pertama, kemudian mereka tidak bisa
mendapatkan(nya) kecuali dengan melakukan undian padanya, niscaya mereka
benar-benar melakukan undian.”[17][17]
Adapun kaum wanita,
maka mereka dianjurkan berdiri di shaf yang paling akhir, berdasarkan sabda
Nabi ﷺ,
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجالِ أوَّلُها، وشَرُّها
آخِرُها، وخَيْرُ صُفُوفِ النِّساءِ آخِرُها، وشَرُّها أوَّلُها.
“Sebaik-baik shaf kaum
laki-laki adalah yang awal, dan seburuk-buruknya adalah yang akhir. Sebaik-baik
shaf kaum wanita adalah yang akhir, dan seburuk-buruknya adalah yang awal.”[18][18]
3). Meluruskan dan merapatkan shaf, menutup celah kosong pada
shaf, menyempurnakan shaf yang awal, lalu shaf berikutnya. Imam dianjurkan
untuk memerintahkan makmum agar meluruskan shaf, mengisi celah kosong pada shaf
sebelum memulai shalat, berdasarkan perbuatan Nabi ﷺ dan sabda
beliau,
سوُّوا صفوفَكم فإنَّ تسويةَ الصُّفوفِ من تمامِ الصَّلاةِ
“Luruskanlah shaf
kalian, karena sesungguhnya lurusnya shaf termasuk kesempurnaan shalat.”[19][19]
Dari Anas radhiyallahu
‘anhu berkata,
أُقِيمَتِ الصَّلاةُ فأقْبَلَ عَلَيْنا رَسولُ
اللَّهِ ﷺ بوَجْهِهِ، فَقالَ: أقِيمُوا صُفُوفَكُمْ، وتَراصُّوا، فإنِّي أراكُمْ مِن
وراءِ ظَهْرِي.
“Iqamat telah
dikumandangkan, maka Rasulullah ﷺ menghadapkan wajah
beliau kepada kami, seraya beliau bersabda, ‘Luruskanlah shaf kalian dan
rapatkanlah, karena sesungguhnya aku dapat melihat kalian dari belakang
punggungku’.”[20][20]
Anas radhiyallahu
‘anhu berkata,
كان أحدُنا يلزقُ منكبَه بمنكبِ صاحبِه وقدمَه
بقدمِه
“Salah seorang dari
kami biasa merapatkan pundaknya dengan pundak teman (yang di samping)nya,
kakinya dengan kaki teman (yang di samping)nya.”[21][21]
Dianjurkan menyempurnakan
shaf pertama kemudian shaf berikutya. Lalu bila ada kekurangan, maka hendaknya
yang kurang di shaf akhir, berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
(ألا تصُفُّون كما تصُفُّ الملائكةُ عندَ ربِّها)؟
فَقُلْنا: يا رسولَ اللهِ وكيف تَصُفُّ الملائكةُ عندَ ربِّها؟ قال: (يُتمُّونَ الصُّفوفَ
ويتراصُّونَ في الصَّفِ)
“Tidaklah kalian
membuat shaf seperti para malaikat membuat shaf di sisi Tuhan mereka?” Para
sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana para malaikat membuat shaf di
sisi Tuhan mereka?” Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan shaf-shaf yang
pertama dan merapatkan shaf.”[22][22]
4). Shalatnya orang yang bersendirian di belakang shaf; tidak
sah shalatnya seorang laki-laki yang berdiri sendirian di belakang shaf,
berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
لا صلاةَ لمنفردٍ خلفَ الصَّفِ
“Tidak ada shalat bagi
orang yang berdiri sendirian di belakang shaf.”[23][23]
[Dan berdasarkan
riwayat Wabishah radhiyallahu ‘anhu],
أنَّ رَسولَ اللهِ صَلّى اللهُ عليه
وسلَّمَ رأى رَجُلًا يُصَلِّي خَلفَ الصَّفِّ وَحدَه، فأمَرَه أنْ يُعيدَ
الصَّلاةَ.
“Bahwasanya
Rasulullah ﷺ pernah
melihat seorang laki-laki shalat sendirian di belakang shaf, maka beliau
memerintahkannya untuk mengulang shalatnya.”[24][24][25]
[1] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 673.
Kata (سِلْمًا)
bermakna Islam.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 673.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4425.
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, no.
971, sanadnya dishahihkan oleh al-Bushiri dalam az-Zawa’id; dishahihkan oleh
an-Nawawi dalam al-Majmu’, 4/154; dihasankan oleh al-Albani dalam Shahih Ibni
Majah, no. 792.
[5] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3010.
[6] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 659.
[7] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 3010.
[8] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 613 dan
hadits ini shahih. Lihat Irwa al-Ghalil, 2/319.
[9] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 658.
[10] Diriwayatkan oleh imam hadits yang lima
kecuali at-Tirmidzi; Abu Dawud, no. 604; an-Nasa’I, 1/146; Ibnu Majah, no. 846;
Ahmad, 2/420. Al-Albani berkata, “Hasan shahih.” Lihat Shahih Sunan an-Nasa’I,
no. 882, 883, hadits ini adalah bagian dari hadits yang berbunyi, إِنَّمَا جُعِلَ
الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ “Sesungguhnya imam itu
hanyalah dijadikan agar diikuti…”
[11] Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/339; dan Ibnu
Majah, no. 850; dan dihasankan oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, no. 500.
[12] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 389 dan
Muslim, no. 411.
[13] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 416.
[14] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 691 dan
Muslim, no. 427.
[15] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 432.
[16] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 438.
[17] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 437.
[18] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 440.
[19] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 443.
[20] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 719.
[21] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 725.
[22] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 430.
[23] Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/23; dan
Ibnu Majah, no. 1003; dishahihkan oleh Imam Ahmad, dan sanadnya dishahihkan
oleh al-Bushiri dalam az-Zawa’id Ibni Majah; dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahih Ibni Majah, no. 822.
[24] Diriwayatkan oleh Ahmad, 4/228; Abu Dawud,
no. 682; at-Tirmidzi, no. 230; dan Ibnu Majah, no. 1004, dihasankan oleh
at-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ahmad dalam Syakir dalam Hawasyi at-Tirmidzi,
1/448-4450, serta dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi,
no. 191.
[25] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].
Posting Komentar untuk "Hukum-Hukum Menjadi Imam Shalat"