Shalat berjamaah merupakan
amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dan ini
(shalat jamaah) merupakan salah satu syiar Islam yang agung dan kaum Muslimin
telah sepakat bahwa menunaikan shalat lima waktu di masjid termasuk ketaatan
paling besar. Oleh karna itu, hendaklah bagi seorang muslim untuk
memperhatikannya dan semangat beribadah didalamnya, karna ketaatan paling besar
ini bisa menambah pahala seseorang kelak di hari kiamat nanti. Adapun
penjelasannya sebagaimana berikut,
KEUTAMAAN SHALAT
BERJAMAAH
Shalat berjamaah di
masjid adalah salah satu syiar Islam yang agung. Kaum Muslimin telah sepakat
bahwa menunaikan shalat lima waktu di masjid termasuk ketaatan paling besar.
Allah ta’ala telah mensyariatkan bagi umat ini agar berkumpul
di waktu-waktu yang telah ditentukan. Diantaranya adalah; shalat lima waktu,
Shalat Jum’at, dua Shalat Id, dan Shalat Kusuf. Dan perkumpulan yang paling
besar dan paling utama adalah perkumpulan di Padang Arafah yang mengisyaratkan
kepada kesatuan umat Islam pada akidah, ibadah, dan syiar-syiar agamanya.
Perkumpulan besar dalam Islam ini disyariatkan untuk kemaslahatan kaum
Muslimin, di sana mereka menjalin hubungan antar mereka, saling mencari tahu
keadaan saudaranya yang lain, dan hal-hal lainnya yang penting bagi umat Islam
dengan berbagai macam bangsa dan sukunya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ
وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَـٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۭ
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Mengenal.”(QS.
Al-Hujurat: 13).
Sungguh Nabi ﷺ telah
mendorong umatnya shalat berjamaah, beliau menjelaskan keutamaan dan pahalanya
yang besar, seraya beliau bersabda,
صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ -يعني
الفرد- بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat berjamaah
lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”[1][1]
Nabi ﷺ bersabda,
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى
صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ
أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ
لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ
بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ
الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ
“Shalatnya seorang
laki-laki secara berjamaah dilipatgandakan atas shalatnya di rumahnya dan di
pasarnya sebanyak dua puluh lima kali lipat. Hal itu bila dia berwudhu lalu
membaguskan wudhunya, kemudian keluar ke masjid, di mana tidak ada yang
membuatnya keluar kecuali shalat, maka tidaklah dia melangkah satu langkah melainkan
dengannya diangkat satu derajat untuknya dan dengannya dihapus satu kesalahan
darinya, lalu bila dia shalat, maka para malaikat selalu bershalawat atasnya
selama dia di tempat shalatnya….”[2][2]
HUKUM SHALAT BERJAMAAH
Shalat berjamaah wajib
untuk shalat lima waktu. Kewajiban ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dan
as-Sunnah. Dari al-Qur’an adalah Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ
فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌۭ مِّنْهُم مَّعَكَ
“Dan apabila kamu
berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu.”[QS. An-Nisa: 102].
Dan perintah di sini
menunjukkan kewajiban, karena bila berjamaah diperintahkan dalam keadaan khauf (takut),
maka dalam keadaan aman tentu lebih ditekankan. Dan dari as-Sunnah adalah
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata,
Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ
الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا
وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ
رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ
مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ
بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Shalat yang paling
berat atas orang-orang munafik adalah Shalat Isya dan Shalat Shubuh. Seandainya
mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya, niscaya mereka mendatangi
keduanya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berniat memerintahkan agar
shalat didirikan, kemudian aku memerintahkan seorang laki-laki untuk shalat
menjadi imam, kemudian aku sendiri akan pergi bersama beberapa orang yang
membawa beberapa ikat kayu bakar kepada suatu kaum yang tidak menghadiri shalat
lalu aku membakar rumah-rumah mereka dengan api.”[3][3]
Hadits ini menunjukkan
wajibnya shalat berjamaah, karena:
Pertama: Nabi ﷺ menyifati
orang-orang yang berpaling dari shalat berjamaah dengan kemunafikan, sedangkan
orang yang menyelisihi apa yang sunnah tidak dihitung munafik. Ini berarti
bahwa mereka berpaling dari sesuatu yang wajib.
Kedua: Nabi ﷺ berniat
menghukum mereka atas ketidakhadiran mereka, sedangkan hukuman itu hanya
ditetapkan karena meninggalkan sesuatu yang wajib, hanya saja Nabi ﷺ dalam hal ini
menahan diri (tidak melakukannya), karena yang berhak menghukum dengan api
hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Ada yang berkata, beliau tidak
melakukannya karena di rumah-rumah tersebut ada kaum wanita dan anak-anak yang
memang tidak wajib untuk shalat berjamaah.
Diantara hadits yang
menetapkan kewajiban shalat berjamaah adalah bahwa ada seorang laki-laki buta
yang tidak ada yang menuntunnya, dia meminta izin kepada Nabi ﷺ agar
(dibolehkan) shalat di rumahnya, maka Nabi ﷺ bertanya
kepadanya,
أتَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: أجب, لَا أَجِدُ
لَكَ رُخْصَةً
“Apakah kamu mendengar
panggilan adzan?” Dia menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Penuhilah, aku tidak
mendapatkan adanya keringanan bagimu.”[4][4]
Dan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ,
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يجب فَلَا صَلَاةَ لَهُ
إِلَّا مِنْ عُذْرٍ
“Barang siapa
mendengar adzan lalu dia tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya
kecuali karena udzur.”[5][5]
Serta berdasarkan
ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا
مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ
“Sungguh aku melihat
diri kami, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali seorang munafik
dengan kemunafikan yang jelas diketahui.”[6][6]
Shalat berjamaah wajib
atas kaum laki-laki, bukan wanita dan anak-anak yang belum dewasa, berdasarkan
sabda Nabi ﷺ untuk kaum wanita,
وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ
“Dan rumah-rumah
mereka (kaum wanita) lebih baik bagi mereka.”[7][7]
Tidak ada larangan
bagi kaum wanita hadir di masjid untuk shalat berjamaah selama mereka menutup
aurat, menjaga diri, dan aman dari fitnah, dengan izin suami.
Wajib shalat berjamaah
di masjid atas siapa yang memiliki kewajiban berjamaah menurut pendapat yang
shahih.
Barangsiapa
meninggalkan shalat berjamaah dan melakukan shalat sendiri tanpa udzur, maka
shalatnya sah, namun dia berdosa karena meninggalkan yang wajib.
Pertanyaan: Bila ada seorang laki-laki masuk masjid, sedangkan
dia sudah shalat, apakah wajib baginya mengulang shalat tersebut bersama
jamaah?
Jawaban: Tidak wajib baginya mengulanginya bersama jamaah,
hal tersebut hanya disunnahkan baginya. Yang pertama hukumnya fardhu (wajib),
dan yang kedua sunnah, berdasarkan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu,
di mana Rasulullah ﷺ bersabda,
كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ
يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ
وَقْتِهَا قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي قَالَ صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا
فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ
“Bagaimana sikapmu
bila kamu dipimpin oleh para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya
atau mematikan shalat dari waktunya?” Aku bertanya, “Lalu apa perintah Anda
kepadaku?” Nabi bersabda, “Shalatlah pada waktunya, lalu bila kamu mendapatkan
shalat bersama mereka, maka shalatlah, karena sesungguhnya ia sunnah bagimu.”[8][8]
Dan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ kepada dua laki-laki yang tidak ikut shalat berjamaah di
masjid,
إذا صلَّيتُما في رحالِكما ثم أتيتما مسجد جماعة فصليا معهم
فإنها لكما نافلة,
“Bila kalian berdua
sudah shalat di rumah kalian kemudian kalian datang ke masjid jamaah, maka
shalatlah bersama mereka (penghuni masjid), karena sesungguhnya ia adalah
sunnah bagi kalian berdua.”[9][9]
JUMLAH MINIMAL YANG
SAH UNTUK SHALAT BERJAMAAH
Minimal jamaah adalah
dua orang tanpa ada perbedaan (khilaf), berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Malik
bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu,
إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا ثُمَّ
لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا
“Bila shalat sudah
tiba, maka kumandangkanlah adzan, kemudian beriqamatlah, dan hendaklah yang
lebih tua dari kalian berdua menjadi imam.”[10][10]
DENGAN APA SHALAT
BERJAMAAH DIDAPATKAN
Shalat berjamaah
didapatkan dengan mendapatkan satu rakaat dari shalatnya, dan barangsiapa
mendapatkan rukuk (bersama imam) tanpa ragu, maka dia telah mendapatkan satu
rakaat, thuma’ninah kemudian mengikuti (imam), berdasarkan
hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
إذا جِئتُم إلى الصلاةِ ونحن سُجودٌ فاسجُدوا، ولا
تعُدُّوها شيئًا، ومَن أدرَكَ الركعةَ فقد أدرَكَ الصلاةَ
“Bila kalian
mendatangi shalat sementara kami sedang sujud, maka sujudlah, namun jangan
menganggapnya sebagai satu raka’at, dan barangsiapa mendapat satu raka’at, maka
sungguh dia telah mendapatkan shalat.”[11][11]
SIAPA YANG DIBOLEHKAN
UNTUK MENINGGALKAN SHALAT BERJAMAAH KARENA UDZUR
Seorang Muslim diberi
udzur untuk tidak shalat berjamaah dalam kondisi berikut:
1). Orang sakit yang mengidap penyakit yang membuatnya
kesulitan bila berangkat shalat berjamaah, berdasarkan Firman Allah ta’ala,
لَّيْسَ عَلَى ٱلْأَعْمَىٰ حَرَجٌۭ وَلَا عَلَى ٱلْأَعْرَجِ
حَرَجٌۭ
“Tidak ada halangan
bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang,”[QS. An-Nur: 61].
Karena saat Nabi ﷺ sakit, beliau
tidak shalat berjamaah di masjid, beliau bersabda,
مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ
“Kalian suruhlah Abu
Bakar agar shalat mengimami orang-orang.”[12][12]
Dan berdasarkan ucapan
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,
لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ
إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ
“Sungguh aku telah
melihat kami, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali seorang munafik
dengan kemunafikan yang jelas diketahui atau seorang yang sakit.”[13][13]
Demikian juga orang
yang takut mengalami sakit, karena dia berstatus semakna dengan orang sakit.
2). Orang yang menahan dua hajat (buang air kecil dan besar)
dan orang yang lapar sementara makanan sudah terhidang, berdasarkan hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha yang marfu’,
لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُ
الْأَخْبَثَانِ
“Tidak ada shalat di
saat makanan telah dihidangkan, dan tidak pula saat dia menahan dua buang hajat.”[14].[14]
3). Orang yang mempunyai sesuatu yang hilang yang mana
dia mengharapkan (untuk menemukannya), atau takut hilangnya harta atau makanan
pokoknya atau ada bahaya yang menimpa makanannya, berdasarkan hadits Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anha yang marfu’,
مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ
اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ لَمْ
تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى
“Barangsiapa mendengar
panggilan adzan, lalu tidak ada udzur yang mencegahnya untuk mengikutinya
(dengan menghadiri shalat jamaah) -mereka bertanya, ‘Apa udzurnya wahai
Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Takut atau sakit’- maka Allah tidak menerima
darinya shalat yang dilakukannya.”[15][15]
Demikian juga, orang
yang takut terhadap dirinya atau hartanya atau keluarganya atau anaknya, maka
dia dibolehkan untuk meninggalkan shalat jamaah, karena “takut” adalah udzur.
4). Terjadinya gangguan disebabkan turunnya hujan, lumpur, salju,
dan hujan atau angin kencang yang sangat dingin di malam yang gelap,
berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia
berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ
أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ
“Rasulullah ﷺ pernah
memerintahkan muadzin ketika malam sangat dingin lagi hujan, beliau berkata,
‘Ketahuilah, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian’.”[16][16]
5). Terjadinya kesengsaraan karena imam memanjangkan shalat,
berdasarkan perbuatan seorang laki-laki yang shalat bersama Mu’adz, kemudian
dia menyendiri, lalu shalat sendirian manakala Mu’adz memanjangkan shalatnya,
lalu Nabi ﷺ tidak mengingkarinya (laki-laki tersebut)
saat dia mengabarkannya kepada beliau ﷺ.[17][17]
6). Takut tertinggal oleh rekan-rekan dalam perjalanan,
karena bila dia menunggu shalat berjamaah atau ikut di dalamnya, maka hal itu
menyibukkan hatinya, karena dia selalu khawatir ditinggal oleh rekan-rekannya.
7). Takut kerabatnya mati sementara dia tidak hadir
mendampinginya, misalnya salah seorang kerabatnya sedang sakaratul maut, dan
dia berharap ada di sampingnya agar bisa mentalqinnya dua kalimat
syahadat atau yang seperti itu, maka dia diberi udzur untuk meninggalkan shalat
berjamaah karena alasan itu.
8). Dibuntuti oleh pihak pemberi hutang, sedangkan dia
tidak memiliki sesuatu untuk melunasinya, maka dia bisa meninggalkan shalat
berjamaah, karena dia terganggu dengan tagihan dari pemilik hutang yang
membuntutinya.
MENGULANG SHALAT
BERJAMAAH DI SATU MASJID
Bila sebagian jamaah
terlambat menghadiri shalat di masjid bersama imam tetap, dan sudah ketinggalan
shalat, maka sah bila mereka shalat di masjid yang sama dengan berjamaah untuk
gelombang kedua, berdasarkan keumuman sabda Nabi ﷺ,
إِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ
صَلَاتِهِ وَحْدَهُ
“Shalatnya seorang
laki-laki bersama seorang laki-laki lainnya lebih besar (pahalanya) daripada
shalatnya sendirian.”[18].[18]
Dan berdasarkan sabda
Nabi ﷺ kepada laki-laki yang datang ke masjid setelah usai shalat
berjamaah,
منْ يتصدقُ على هذا فيصلِّي معهُ؟ [قال:] فقامَ أحد القومِ
فصلّى مع الرجل
“Siapa yang mau
bersedekah kepada orang ini dengan cara shalat bersamanya?” [Perawi berkata,]
“Maka seorang laki-laki dari kami bangkit lalu shalat bersama lelaki tersebut.”[19][19]
Demikian juga bila
masjid yang ada adalah masjid pasar, atau masjid jalan, atau yang seperti itu,
maka tidak mengapa dengan terulangnya shalat berjamaah di masjid tersebut,
khususnya bila masjid tersebut tidak mempunyai imam tetap, sementara
orang-orang pasar dan orang-orang lewat silih berganti melakukan shalat jamaah.
Lain halnya, bila di
dalam satu masjid ada dua shalat berjamaah atau lebih terus-menerus dan selalu
demikian, dan orang-orang menjadikannya sebagai kebiasaan, maka hal tersebut
tidak boleh, karena hal seperti ini tidak dikenal (tidak pernah dilakukan) di
zaman Nabi ﷺ dan para sahabat, dan karena di dalamnya
terkandung perpecahan kaum Muslimin, mendorong kepada kemalasan dan keengganan
untuk hadir mengikuti shalat bersama jamaah induk bersama imam tetap. Dan bisa
jadi hal itu menjadi pendorong untuk menunda shalat dari awal waktunya.
HUKUM SHALAT SUNNAH
BILA IQAMAT UNTUK SHALAT WAJIB TELAH DIKUMANDANGKAN
Bila muadzin beriqamat
untuk shalat fardhu (wajib), maka tidak seorang pun boleh memulai melakukan
shalat sunnah, sehingga dia sibuk dengan shalat sunnah yang dilakukannya
sendiri dan meninggalkan shalat wajib yang dilakukan oleh jamaah. Ini
berdasarkan sabda Nabi ﷺ,
إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا
الْمَكْتُوبَةُ
“Bila shalat telah
diiqamatkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu.”[20][20]
Rasulullah ﷺ pernah melihat
seorang laki-laki shalat, padahal muadzin telah mengumandangkan iqamat untuk
Shalat Shubuh, maka beliau bersabda kepadanya,
أَتُصَلِّي الصُّبْحَ أَرْبَعًا
“Apakah kamu Shalat
Shubuh empat raka’at?”[21][21]
Adapun bila muadzin
mulai iqamat setelah orang yang shalat sunnah telah melakukan shalatnya, maka
hendaklah dia menyempurnakannya dengan cepat agar mendapatkan keutamaan takbiratul
ihram (bersama imam) dan bersegera masuk ke dalam shalat fardhu
(wajib).
Sebagian ulama
berpendapat bahwa bila orang yang shalat sunnah berada di rakaat pertama, maka
hendaklah dia memutuskannya, dan bila dia berada di rakaat kedua, maka
hendaklah dia menyempurnakannya secara cepat, dan segera masuk ke dalam jamaah.[22]
[1] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 645, 646
dan Muslim, no. 650.
[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 647.
[3] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 644 dan
Muslim, no. 651.
[4] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 653.
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no.
551; Ibnu Majah, no. 793; dan al-Hakim, 1/245, dishahihkan oleh al-Hakim berdasarkan
syarat asy-Syaikhain; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih lbni Majah, no.
645.
[6] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 654
[7] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no.
567, Ahmad, 2/76, dan al-Hakim, 1/209, dishahihkan oleh al-Hakim, dan ia
disetujui oleh adz-Dzahabi; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil,
no. 515.
[8] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 648.
[9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 575, 576;
at-Tirmidzi, no. 219; dan an-Nasa i, 2/112, at-Tirmidzi berkata, “Hasan
shahih”; Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 181.
[10] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 658 dan
Muslim, no. 674, 295.
[11] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 875; dan
lbnu Majah, no. 468 dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, no. 496
[12] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 713 dan
Muslim, no. 418.
[13] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 654.
[14] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 560.
[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 551,
hadits inj dhaif dengan lafazh ini, akan tetapi shahih dengan latazh,
(من سمع النداء
فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر)
“Barangsiapa
mendengar adzan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali
karena udzur” Lihat Irwa al-Ghalil, 2/336-337.
[16] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 632 dan
Muslim, no. 697, dan ini adalah lafazh Muslim.
[17] Lihat Shahih Muslim, no. 465.
[18] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no, 554;
an-Nasa i, 2/104; Ahmad, 5/140; al-Hakim, 1/247; dishahihkan oleh al-Hakim.
Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habir, 2/26 menyebutkan tashhih Ibnu as-Sakan,
a-Uqailı, al-Hakim, dan Ibnu al-Madini untuk hadits ini.
[19] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 220,
dan dia menghasankannya; dan Ahmad, 3/5; dan dishahihkan oleh al-Albani dalam
Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 182.
[20] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 710.
[21] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 711-66.
[22] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].
Posting Komentar untuk "Shalat Berjamaah: Hukum dan Keutamaannya"