Shalat Berjamaah: Hukum dan Keutamaannya

Shalat Berjamaah

Shalat berjamaah merupakan amalan yang diperintahkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya. Dan ini (shalat jamaah) merupakan salah satu syiar Islam yang agung dan kaum Muslimin telah sepakat bahwa menunaikan shalat lima waktu di masjid termasuk ketaatan paling besar. Oleh karna itu, hendaklah bagi seorang muslim untuk memperhatikannya dan semangat beribadah didalamnya, karna ketaatan paling besar ini bisa menambah pahala seseorang kelak di hari kiamat nanti. Adapun penjelasannya sebagaimana berikut,

KEUTAMAAN SHALAT BERJAMAAH

Shalat berjamaah di masjid adalah salah satu syiar Islam yang agung. Kaum Muslimin telah sepakat bahwa menunaikan shalat lima waktu di masjid termasuk ketaatan paling besar. Allah ta’ala telah mensyariatkan bagi umat ini agar berkumpul di waktu-waktu yang telah ditentukan. Diantaranya adalah; shalat lima waktu, Shalat Jum’at, dua Shalat Id, dan Shalat Kusuf. Dan perkumpulan yang paling besar dan paling utama adalah perkumpulan di Padang Arafah yang mengisyaratkan kepada kesatuan umat Islam pada akidah, ibadah, dan syiar-syiar agamanya. Perkumpulan besar dalam Islam ini disyariatkan untuk kemaslahatan kaum Muslimin, di sana mereka menjalin hubungan antar mereka, saling mencari tahu keadaan saudaranya yang lain, dan hal-hal lainnya yang penting bagi umat Islam dengan berbagai macam bangsa dan sukunya, sebagaimana Allah ta’ala berfirman,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَـٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌۭ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”(QS. Al-Hujurat: 13).

Sungguh Nabi telah mendorong umatnya shalat berjamaah, beliau menjelaskan keutamaan dan pahalanya yang besar, seraya beliau bersabda,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ -يعني الفرد- بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

“Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat.”[1][1]

Nabi bersabda,

صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ 

“Shalatnya seorang laki-laki secara berjamaah dilipatgandakan atas shalatnya di rumahnya dan di pasarnya sebanyak dua puluh lima kali lipat. Hal itu bila dia berwudhu lalu membaguskan wudhunya, kemudian keluar ke masjid, di mana tidak ada yang membuatnya keluar kecuali shalat, maka tidaklah dia melangkah satu langkah melainkan dengannya diangkat satu derajat untuknya dan dengannya dihapus satu kesalahan darinya, lalu bila dia shalat, maka para malaikat selalu bershalawat atasnya selama dia di tempat shalatnya….”[2][2]

HUKUM SHALAT BERJAMAAH

Shalat berjamaah wajib untuk shalat lima waktu. Kewajiban ini ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah. Dari al-Qur’an adalah Firman Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ ٱلصَّلَوٰةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌۭ مِّنْهُم مَّعَكَ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu.”[QS. An-Nisa: 102].

Dan perintah di sini menunjukkan kewajiban, karena bila berjamaah diperintahkan dalam keadaan khauf (takut), maka dalam keadaan aman tentu lebih ditekankan. Dan dari as-Sunnah adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah bersabda,

 إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Shalat yang paling berat atas orang-orang munafik adalah Shalat Isya dan Shalat Shubuh. Seandainya mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya, niscaya mereka mendatangi keduanya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berniat memerintahkan agar shalat didirikan, kemudian aku memerintahkan seorang laki-laki untuk shalat menjadi imam, kemudian aku sendiri akan pergi bersama beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar kepada suatu kaum yang tidak menghadiri shalat lalu aku membakar rumah-rumah mereka dengan api.”[3][3]

Hadits ini menunjukkan wajibnya shalat berjamaah, karena:

Pertama: Nabi menyifati orang-orang yang berpaling dari shalat berjamaah dengan kemunafikan, sedangkan orang yang menyelisihi apa yang sunnah tidak dihitung munafik. Ini berarti bahwa mereka berpaling dari sesuatu yang wajib.

Kedua: Nabi berniat menghukum mereka atas ketidakhadiran mereka, sedangkan hukuman itu hanya ditetapkan karena meninggalkan sesuatu yang wajib, hanya saja Nabi dalam hal ini menahan diri (tidak melakukannya), karena yang berhak menghukum dengan api hanyalah Allah subhanahu wa ta’ala. Ada yang berkata, beliau tidak melakukannya karena di rumah-rumah tersebut ada kaum wanita dan anak-anak yang memang tidak wajib untuk shalat berjamaah.

Diantara hadits yang menetapkan kewajiban shalat berjamaah adalah bahwa ada seorang laki-laki buta yang tidak ada yang menuntunnya, dia meminta izin kepada Nabi agar (dibolehkan) shalat di rumahnya, maka Nabi bertanya kepadanya,

  أتَسْمَعُ النِّدَاءَ قَالَ: نَعَمْ قَالَ: أجب, لَا أَجِدُ لَكَ رُخْصَةً

“Apakah kamu mendengar panggilan adzan?” Dia menjawab, “Ya.” Nabi bersabda, “Penuhilah, aku tidak mendapatkan adanya keringanan bagimu.”[4][4]

Dan berdasarkan sabda Nabi ,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يجب فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

“Barang siapa mendengar adzan lalu dia tidak memenuhinya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur.”[5][5]

Serta berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ

“Sungguh aku melihat diri kami, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali seorang munafik dengan kemunafikan yang jelas diketahui.”[6][6]

Shalat berjamaah wajib atas kaum laki-laki, bukan wanita dan anak-anak yang belum dewasa, berdasarkan sabda Nabi untuk kaum wanita,

وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Dan rumah-rumah mereka (kaum wanita) lebih baik bagi mereka.”[7][7]

Tidak ada larangan bagi kaum wanita hadir di masjid untuk shalat berjamaah selama mereka menutup aurat, menjaga diri, dan aman dari fitnah, dengan izin suami.

Wajib shalat berjamaah di masjid atas siapa yang memiliki kewajiban berjamaah menurut pendapat yang shahih.

Barangsiapa meninggalkan shalat berjamaah dan melakukan shalat sendiri tanpa udzur, maka shalatnya sah, namun dia berdosa karena meninggalkan yang wajib.

Pertanyaan: Bila ada seorang laki-laki masuk masjid, sedangkan dia sudah shalat, apakah wajib baginya mengulang shalat tersebut bersama jamaah?

Jawaban: Tidak wajib baginya mengulanginya bersama jamaah, hal tersebut hanya disunnahkan baginya. Yang pertama hukumnya fardhu (wajib), dan yang kedua sunnah, berdasarkan hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, di mana Rasulullah bersabda,

كَيْفَ أَنْتَ إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا قَالَ قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي قَالَ صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ فَصَلِّ فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ 

“Bagaimana sikapmu bila kamu dipimpin oleh para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya atau mematikan shalat dari waktunya?” Aku bertanya, “Lalu apa perintah Anda kepadaku?” Nabi bersabda, “Shalatlah pada waktunya, lalu bila kamu mendapatkan shalat bersama mereka, maka shalatlah, karena sesungguhnya ia sunnah bagimu.”[8][8]

Dan berdasarkan sabda Nabi kepada dua laki-laki yang tidak ikut shalat berjamaah di masjid,

إذا صلَّيتُما في رحالِكما ثم أتيتما مسجد جماعة فصليا معهم فإنها لكما نافلة,

“Bila kalian berdua sudah shalat di rumah kalian kemudian kalian datang ke masjid jamaah, maka shalatlah bersama mereka (penghuni masjid), karena sesungguhnya ia adalah sunnah bagi kalian berdua.”[9][9]

JUMLAH MINIMAL YANG SAH UNTUK SHALAT BERJAMAAH

Minimal jamaah adalah dua orang tanpa ada perbedaan (khilaf), berdasarkan sabda Nabi kepada Malik bin al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu,

إِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَأَذِّنَا وَأَقِيمَا ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمَا أَكْبَرُكُمَا

“Bila shalat sudah tiba, maka kumandangkanlah adzan, kemudian beriqamatlah, dan hendaklah yang lebih tua dari kalian berdua menjadi imam.”[10][10]

DENGAN APA SHALAT BERJAMAAH DIDAPATKAN

Shalat berjamaah didapatkan dengan mendapatkan satu rakaat dari shalatnya, dan barangsiapa mendapatkan rukuk (bersama imam) tanpa ragu, maka dia telah mendapatkan satu rakaat, thuma’ninah kemudian mengikuti (imam), berdasarkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,

إذا جِئتُم إلى الصلاةِ ونحن سُجودٌ فاسجُدوا، ولا تعُدُّوها شيئًا، ومَن أدرَكَ الركعةَ فقد أدرَكَ الصلاةَ

“Bila kalian mendatangi shalat sementara kami sedang sujud, maka sujudlah, namun jangan menganggapnya sebagai satu raka’at, dan barangsiapa mendapat satu raka’at, maka sungguh dia telah mendapatkan shalat.”[11][11]

SIAPA YANG DIBOLEHKAN UNTUK MENINGGALKAN SHALAT BERJAMAAH KARENA UDZUR

Seorang Muslim diberi udzur untuk tidak shalat berjamaah dalam kondisi berikut:

1). Orang sakit yang mengidap penyakit yang membuatnya kesulitan bila berangkat shalat berjamaah, berdasarkan Firman Allah ta’ala,

لَّيْسَ عَلَى ٱلْأَعْمَىٰ حَرَجٌۭ وَلَا عَلَى ٱلْأَعْرَجِ حَرَجٌۭ

“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang,”[QS. An-Nur: 61].

Karena saat Nabi sakit, beliau tidak shalat berjamaah di masjid, beliau bersabda,

مُرُوا أَبَا بَكْرٍ فَلْيُصَلِّ بِالنَّاسِ

“Kalian suruhlah Abu Bakar agar shalat mengimami orang-orang.”[12][12]

Dan berdasarkan ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

لَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ 

“Sungguh aku telah melihat kami, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah kecuali seorang munafik dengan kemunafikan yang jelas diketahui atau seorang yang sakit.”[13][13]

Demikian juga orang yang takut mengalami sakit, karena dia berstatus semakna dengan orang sakit.

2). Orang yang menahan dua hajat (buang air kecil dan besar) dan orang yang lapar sementara makanan sudah terhidang, berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha yang marfu’,

لَا صَلَاةَ بِحَضْرَةِ الطَّعَامِ وَلَا هُوَ يُدَافِعُ الْأَخْبَثَانِ

“Tidak ada shalat di saat makanan telah dihidangkan, dan tidak pula saat dia menahan dua buang hajat.”[14].[14]

3). Orang yang mempunyai sesuatu yang hilang yang mana dia mengharapkan (untuk menemukannya), atau takut hilangnya harta atau makanan pokoknya atau ada bahaya yang menimpa makanannya, berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anha yang marfu’,

مَنْ سَمِعَ الْمُنَادِيَ فَلَمْ يَمْنَعْهُ مِنْ اتِّبَاعِهِ عُذْرٌ قَالُوا وَمَا الْعُذْرُ قَالَ خَوْفٌ أَوْ مَرَضٌ لَمْ تُقْبَلْ مِنْهُ الصَّلَاةُ الَّتِي صَلَّى

“Barangsiapa mendengar panggilan adzan, lalu tidak ada udzur yang mencegahnya untuk mengikutinya (dengan menghadiri shalat jamaah) -mereka bertanya, ‘Apa udzurnya wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Takut atau sakit’- maka Allah tidak menerima darinya shalat yang dilakukannya.”[15][15]

Demikian juga, orang yang takut terhadap dirinya atau hartanya atau keluarganya atau anaknya, maka dia dibolehkan untuk meninggalkan shalat jamaah, karena “takut” adalah udzur.

4). Terjadinya gangguan disebabkan turunnya hujan, lumpur, salju, dan hujan atau angin kencang yang sangat dingin di malam yang gelap, berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ ذَاتُ مَطَرٍ يَقُولُ أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ

“Rasulullah pernah memerintahkan muadzin ketika malam sangat dingin lagi hujan, beliau berkata, ‘Ketahuilah, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian’.”[16][16]

5). Terjadinya kesengsaraan karena imam memanjangkan shalat, berdasarkan perbuatan seorang laki-laki yang shalat bersama Mu’adz, kemudian dia menyendiri, lalu shalat sendirian manakala Mu’adz memanjangkan shalatnya, lalu Nabi tidak mengingkarinya (laki-laki tersebut) saat dia mengabarkannya kepada beliau .[17][17]

6). Takut tertinggal oleh rekan-rekan dalam perjalanan, karena bila dia menunggu shalat berjamaah atau ikut di dalamnya, maka hal itu menyibukkan hatinya, karena dia selalu khawatir ditinggal oleh rekan-rekannya.

7). Takut kerabatnya mati sementara dia tidak hadir mendampinginya, misalnya salah seorang kerabatnya sedang sakaratul maut, dan dia berharap ada di sampingnya agar bisa mentalqinnya dua kalimat syahadat atau yang seperti itu, maka dia diberi udzur untuk meninggalkan shalat berjamaah karena alasan itu.

8). Dibuntuti oleh pihak pemberi hutang, sedangkan dia tidak memiliki sesuatu untuk melunasinya, maka dia bisa meninggalkan shalat berjamaah, karena dia terganggu dengan tagihan dari pemilik hutang yang membuntutinya.

MENGULANG SHALAT BERJAMAAH DI SATU MASJID

Bila sebagian jamaah terlambat menghadiri shalat di masjid bersama imam tetap, dan sudah ketinggalan shalat, maka sah bila mereka shalat di masjid yang sama dengan berjamaah untuk gelombang kedua, berdasarkan keumuman sabda Nabi ,

إِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ

“Shalatnya seorang laki-laki bersama seorang laki-laki lainnya lebih besar (pahalanya) daripada shalatnya sendirian.”[18].[18]

Dan berdasarkan sabda Nabi kepada laki-laki yang datang ke masjid setelah usai shalat berjamaah,

منْ يتصدقُ على هذا فيصلِّي معهُ؟ [قال:] فقامَ أحد القومِ فصلّى مع الرجل

“Siapa yang mau bersedekah kepada orang ini dengan cara shalat bersamanya?” [Perawi berkata,] “Maka seorang laki-laki dari kami bangkit lalu shalat bersama lelaki tersebut.”[19][19]

Demikian juga bila masjid yang ada adalah masjid pasar, atau masjid jalan, atau yang seperti itu, maka tidak mengapa dengan terulangnya shalat berjamaah di masjid tersebut, khususnya bila masjid tersebut tidak mempunyai imam tetap, sementara orang-orang pasar dan orang-orang lewat silih berganti melakukan shalat jamaah.

Lain halnya, bila di dalam satu masjid ada dua shalat berjamaah atau lebih terus-menerus dan selalu demikian, dan orang-orang menjadikannya sebagai kebiasaan, maka hal tersebut tidak boleh, karena hal seperti ini tidak dikenal (tidak pernah dilakukan) di zaman Nabi dan para sahabat, dan karena di dalamnya terkandung perpecahan kaum Muslimin, mendorong kepada kemalasan dan keengganan untuk hadir mengikuti shalat bersama jamaah induk bersama imam tetap. Dan bisa jadi hal itu menjadi pendorong untuk menunda shalat dari awal waktunya.

HUKUM SHALAT SUNNAH BILA IQAMAT UNTUK SHALAT WAJIB TELAH DIKUMANDANGKAN

Bila muadzin beriqamat untuk shalat fardhu (wajib), maka tidak seorang pun boleh memulai melakukan shalat sunnah, sehingga dia sibuk dengan shalat sunnah yang dilakukannya sendiri dan meninggalkan shalat wajib yang dilakukan oleh jamaah. Ini berdasarkan sabda Nabi ,

إِذَا أُقِيمَتْ الصَّلَاةُ فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ

“Bila shalat telah diiqamatkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat fardhu.”[20][20]

Rasulullah pernah melihat seorang laki-laki shalat, padahal muadzin telah mengumandangkan iqamat untuk Shalat Shubuh, maka beliau bersabda kepadanya,

 أَتُصَلِّي الصُّبْحَ أَرْبَعًا

“Apakah kamu Shalat Shubuh empat raka’at?”[21][21]

Adapun bila muadzin mulai iqamat setelah orang yang shalat sunnah telah melakukan shalatnya, maka hendaklah dia menyempurnakannya dengan cepat agar mendapatkan keutamaan takbiratul ihram (bersama imam) dan bersegera masuk ke dalam shalat fardhu (wajib).

Sebagian ulama berpendapat bahwa bila orang yang shalat sunnah berada di rakaat pertama, maka hendaklah dia memutuskannya, dan bila dia berada di rakaat kedua, maka hendaklah dia menyempurnakannya secara cepat, dan segera masuk ke dalam jamaah.[22]



[1] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 645, 646 dan Muslim, no. 650.

[2] Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 647.

[3] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 644 dan Muslim, no. 651.

[4] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 653.

[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 551; Ibnu Majah, no. 793; dan al-Hakim, 1/245, dishahihkan oleh al-Hakim berdasarkan syarat asy-Syaikhain; dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih lbni Majah, no. 645.

[6] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 654

[7] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 567, Ahmad, 2/76, dan al-Hakim, 1/209, dishahihkan oleh al-Hakim, dan ia disetujui oleh adz-Dzahabi; dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa’ al-Ghalil, no. 515.

[8] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 648.

[9] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 575, 576; at-Tirmidzi, no. 219; dan an-Nasa i, 2/112, at-Tirmidzi berkata, “Hasan shahih”; Dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 181.

[10] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 658 dan Muslim, no. 674, 295.

[11] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 875; dan lbnu Majah, no. 468 dishahihkan oleh al-Albani dalam Irwa al-Ghalil, no. 496

[12] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 713 dan Muslim, no. 418.

[13] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 654.

[14] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 560.

[15] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 551, hadits inj dhaif dengan lafazh ini, akan tetapi shahih dengan latazh,

(من سمع النداء فلم يأته فلا صلاة له إلا من عذر)

“Barangsiapa mendengar adzan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena udzur” Lihat Irwa al-Ghalil, 2/336-337.

[16] Muttafaq ‘alaih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 632 dan Muslim, no. 697, dan ini adalah lafazh Muslim.

[17] Lihat Shahih Muslim, no. 465.

[18] Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no, 554; an-Nasa i, 2/104; Ahmad, 5/140; al-Hakim, 1/247; dishahihkan oleh al-Hakim. Ibnu Hajar dalam at-Talkhish al-Habir, 2/26 menyebutkan tashhih Ibnu as-Sakan, a-Uqailı, al-Hakim, dan Ibnu al-Madini untuk hadits ini.

[19] Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 220, dan dia menghasankannya; dan Ahmad, 3/5; dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi, no. 182.

[20] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 710.

[21] Diriwayatkan oleh Muslim, no. 711-66.

[22] [Disalin dari kitab ‘Al-Fiqh al-Muyassar’ Penyusun Syaikh Abdul Aziz Mabruk al-Mahdi, Syaikh Abdul Karim bin Shunaitan al-Amri, Syaikh Abdullah bin Fahd asy-Syarif dan Syaikh Faihan bin Syali al-Muthairi, Judul dalam Bahasa Indonesia ’Fiqih Muyassar’ Penerjemah Izzudin Karimi Lc, Penerbit Pustaka Darul Haq, Cetakan Ketujuh Dzulqo’dah 1440 H – Juli 2019 M].



Posting Komentar untuk "Shalat Berjamaah: Hukum dan Keutamaannya"